Oleh: Ust. Miftahul Alim, S.Pd.I., M.Pd.
Guru adalah sosok yang memiliki peran sangat besar dalam keberhasilan pendidikan anak didiknya. Ia digambarkan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Adagium ini bukan berarti guru tidak boleh menerima jasa (red-gaji), tetapi sungguh, gaji yang ia terima tidak akan pernah seimbang dengan apa yang pernah ia lakukan. Adagium sebagai pahlawan tanpa tanda jasa lebih bermakna bahwa jasa guru itu sangat besar, begitu besar dan sungguh besar hingga seberapapun gaji yang ia dapat tak akan pernah pantas untuk membayar jasa yang perna ia lakukan kepada anak didiknya.
Guru bukan hanya mengajar, tetapi juga mendidik. Sebuah proses yang tak berkesudahan, proses yang tiada hulunya. Tidak terbatas oleh tempat dan waktu bersama saat di sekolah saja. Tetapi, dimanapun dan kapanpun guru akan memosisikan dirinya sebagai seorang guru. Berbeda dengan profesi lain seperti pegawai, pedagang, pelayanan jasa dan yang lain. Ketika mereka pulang ke rumah profesi yang mereka geluti, mereka tinggalka di kantornya masing-masing. Namun tidak dengan guru, saat ia telah pulang ke rumah, label seorang guru itu tak lengkang dari darinya. Ia akan selalu dianggap sebagai sosok yang patut dijadikan contoh dan panutan. Bagi masyarakat, orangtua murid, terlebih untuk anak-didiknya.
Menjadi guru merupakan beban juga amanah yang besar. Dikatakan beban, karena yang digeluti setiap hari adalah manusia. Materi yang memiliki nyawa. Tidak hanya sekedar memiliki nyawa tetapi juga memiliki rasa, karya dan karsa. Amanah besar, karena adanya keberlangsungan ilmu pengetahuan di muka bumi ini adalah salah satunya berkat jasa para guru. Tonggak estafet dengan skala tak terukur. Andai saja di dunia ini tidak ada orang yang mau mengajar, tidak ada seorang guru, niscaya dunia ini akan buta, gelap dan suram. Dunia tanpa ilmu pengetahuan? Bisa kita bayangkan bagaimana jadinya?
Begitu berat bukan tugas seorang guru? Jika orang lain dapat berlari dengan bebas tanpa harus takut terjatuh dan tanpa perlu memedulikan yang ada disekitarnya tetapi tidak dengan guru. Jangankan untuk berlari kencang, saat ia berjalan saja ia harus hati-hati. Agar jalan yang ia tapaki tidak membuatnya tersandung ataupun terkena aral yang dapat membuat kaki terluka. Artinya segala tingkah laku guru harus sangat hati-hati. Karena ia membawa label besar yakni guru. Label itu bukan untuk dirinya saja, tetapi juga untuk seluruh guru yang ada. Satu guru melakukan kesalahan maka stigma miring akan juga berimbas kepada guru-guru yang lainnya.
Namun ada yang perlu diingat, guru bukan sosok yang diliputi kesempurnaan. Sejatinya ia juga manusia biasa yang suatu saat memungkinkan akan melakukan kesalahan atauapun khilaf. Tetapi karena label "guru", digugu dan ditiru (didengarkan dan jadi panutan) yang sudah menempel padanya, ia dipaksa untuk menjadi "sempurna", maka dalam tingkah-polanya dia akan berusaha untuk tampil dalam performa maksimal yang ia miliki, terkhusus dalam prilaku kesehariannya. setidaknya, ini dilakukan saat ia sedang berada didepan anak didiknya. Saat ia berinteraksi, saat ia berprilaku, juga saat beraktifitas lainnya. Guru memiliki beban lebih ketimbang orang lain. Mereka menjaga agar moral sebagai guru agar tetap ada, mereka berusaha mencitrakan bahwa memang sosok guru adalah sosok yang pantas untuk digugur dan ditiru.
Ketidak-sempurnaan itu suatu saat akan kita jumpai. Entah karena faktor apa. Pada situasi ini kita akan dihadapkan dengan dua hal. Tetap menjadikan guru sebagai sosok yang dihormati atau akan membuat kita memiliki pandangan yang berbeda kepada mereka. Tetapi yang jelas, guru tetap akan menjadi guru bagi kita. Asupan ilmu pengetahuan yang pernah mereka berikan inilah yang menjadi ikatan kuat antara guru dan murid. Bukan hanya sekedar ikatan lahir terlebih adalah ikatan batin. Karena sesungguhnya guru memberikan konsumsi batin bagi anak didiknya. Konsumsi yang tidak dijual di toko manapun, bahkan di toko online sekalipun yang konon menjadi toko serba ada.
Konsumsi batin yang diberikan guru adalah berwujud ilmu, dan ilmu memiliki sifat infinity (abadi), tidak lekang oleh masa dan usia. Sampai kapanpun eksistensi ilmu akan ada. Bahkan jika jasad seseorang telah kembali ke bumi, ilmu yang dimiliki akan tetap ada jika ilmu itu ditularkan atau diajarkan kepada orang lain sebagaimana yang telah dilakukan oleh sosok guru. Dalam konsep Islam hal ini dikenal sebagai amal jariyah, suatu amal yang terus mengalir dan tetap ada. Kenapa ilmu itu abadi? Analogi ringannya adalah ketika guru kita mengajarkan ilmu berhitung kepada kita. Kemudian kita mengajarkan kepada anak-anak kita, anak-anak kita mengajarkan kepada anak-nya, diajarkan kepada anak-anaknya lagi dan begitu seterusnya. Itulah kenapa konsumsi batin yang berwujud ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang mahal. Karena ilmu akan terus ada dan akan selalu dibutuhkan. Tidak seperti alat elektronik yang memiliki batas, entah itu dibatasi karena fungsinya atau karena sudah tidak lagi dibutuhkan oleh zaman.
Kembali pada ketidak-sempurnaan seorang guru. Jika suatu waktu kita diberikan kesempatan untuk melihat ketidak-sempurnaan itu, diberi kesempatan untuk melihat aib dari guru kita. Entah karena suatu hal, apa yang harus kita lakukan? Akan berpaling dan meninggalkan dia sebagai guru dan tidak lagi menghormatinya? atau tetap menganggapnya sebagai sosok guru yang masih pantas kita hormati? Jika kita menyadari bahwa setiap orang memiliki potensi melakukan kesalahan atau aib, kita akan memiliki kesadaran bahwa guru juga sangat-sangat memungkin melakukannya. Entah itu faktor kesengajaan atau tidak. Walaupun mungkin kita akan merasakan dilematis dan ada rasa tidak percaya. Tetapi sekali lagi, guru bukanlah manusia sempurna, dia juga manusia biasa yang memiliki peluang sama dengan kita untuk melakukan salah ataupun aib.
Jika kita boleh memilih alangkah akan lebih baik jika kita tidak pernah mengetahui aib dari guru kita. Agar rasa hormat, bangga dan kagum pada sosok guru tetap terjaga sampai kapanpun dan ilmu yang pernah mereka berikan akan tetap bermanfaat. Tetapi kalau keadaan tetap memaksa yang akhirnya kita mengetahui aib atau salah dari guru kita, langkah terbaik adalah “bersembunyi” dari aibnya. “Bersembunyi” dari aib guru artinya kita tidak perlu membicarakan aib yang kita ketahui kepada orang lain atau saat orang lain berbicara prihal aibnya lebih baik kita diam. diam bukan berarti menganggap guru itu suci, membenarkan apa yang dilakukan atau menyembunyikan aib guru, tetapi lebih kepada sikap hati-hati kita agar kita tidak diliputi oleh syak wasangka terhadap guru.
Andai saja kita mengetahui aib dari guru kita, jangan menjadikan itu menghilangkan segala hal yang pernah mereka lakukan. Apapun aibnya, mereka memiliki jasa besar. Tidak perlu membenci lantaran ia berbuat salah. Boleh kita membenci, tetapi objek kebencian itu ditujukan pada kesalahannya bukan pada orang yang melakukan kesalahan sehingga ilmu yang pernah kita dapatkan kebermanfaatannya akan tetap lestari.
“Ya Allah, semoga aku terhindar dari mengetahui aib guruku, dan jangan engkau hilangkan keberkahan ilmu-ilmu yang pernah aku dapat darinya.”

Posting Komentar