NU Bontang

KAJIAN HADITS MEMOTONG RAMBUT DAN KUKU PADA 10 DZULHIJJAH (HADITS MUSLIM:1977)

Terdapat hadits dalam Sahih Muslim tentang larangan memotong rambut dan kuku ketika memasuki tanggal 10 Dzulhijjah. Sebagaimana dalam teks hadits tersebut, larangan ini diwajibkan bagi orang yang berniat melaksanakan ibadah qurban. Bagaimana penjelasannya? Adakah ia haram ataukah makruh?

Berikut ini akan diulas hadits tersebut dari beberapa aspeknya.


Redaksi Hadits:

(1977) حدثنا ابن أبي عمر المكي، حدثنا سفيان، عن عبد الرحمن ابن حميد ابن عبد الرحمن ابن عوف، سمع ابن المسيب يحدث، عَن أم سلمة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((إذا دَخَلَتِ الْعَشْرُ، وأراد أحدكم أن يضحي، فلا يمس من شعره وبشره شيأ)).  (رواه مسلم)

Artinya:
Meriwayatkan hadits kepada kami Ibnu Abi Umar Al-Makky, bercerita kepada kami Sufyan, dari Abdurrahman bin Humaid bin Abdirrahman bin Auf.  Ia mendengar Ibn Al-Musayyab menceritakan dari Ummi Salamah bahwasanya Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam berlibur: ((Jika hari kesepuluh telah tiba, dan salah satu di antara kalian ingin menyembelih Qurban, maka jangan menyentuh (memotong) apapun dari rambut pada kulit kalian .)).  (HR. Muslim: no.: 1977)


Kajian Dirayah
Hadits ini menjelaskan tentang larangan memotong rambut dan memotong kuku ketika telah memasuki tanggal 10 Dzulhijjah bagi orang yang hendak atau memiliki niat untuk menyembelih qurban.  Demikian pula terdapat hadits yang menjelaskan bahwa larangan ini adalah ketika memasuki hilal Dzulhijjah. 

Hadits dari Ummi Salamah di atas termuat di dalam Sahih Muslim (no: 1977; Ibnu Majah (no: 3149) At-Thahwi dalam Syarh Musykil Al-Atsar (no: 5511). Terdapat beberapa perbedaan lafadz hadits mengenai mencukur rambut ketika hendak menyembelih ini Adapun hadits yang dikutip di atas adalah dari Sahih Muslim. 

Hadits paralel yang lain dari Sahih Muslim adalah: (1) Hadits dari Ishaq bin Ibrahim, dari Sufyan, dari Abdurrahman bin Humaid nom Abdirrahman bin 'Auf, dari Sa'id bin Musayyab dari Ummi Salamah;  (2) Hadits dari Hajjaj bin As-Sya'ir, dari Yahya bin Katsir Al-Anbary, dari Syu'bah dari Malik bin Nas dari Umar bin Muslim dari Sa'id bin Al-Musayyab.  Dari Ummi Salamah;  (3) Hadits dari Ahmad bin Abdullah bin Al-Hakam Al-Hasyimi, dari Muhammad bin Ja'far, dari Syu'bah, dari Malik bin Anas, dari Umar (atau 'Amr) bin Ja'far, ((atau)) dari Syu'bah, dari Malik bin Anas, dari Umar (atau) 'Amr bin Muslim;  (4) Hadits dari Abdullah bin Mu'adz Al-Anbary, dari Ayahnya, dari Muhammad bin 'Amr Al-Laitsy, dari Umar bin Muslim bin Ammar bin Akya'ah Al-Laitsy; (5) Hadits dari Hasan bin Ali Al-Halwani, dari Abu Usamah, dari Muhammad bin 'Amr,  dari 'Amr bin Muslim bin Ammar Al-Laitsy;  (6) Hadits dari Harmalah bin Yahya dan Ahmad bin Abdurrahman;  dari Abdullah bin Wahab dari Haywah, dari Khalid bin Yazid, dari Sa'id bin Abi Hilal, dari Umar bin Muslim Al-Junda'i, dari Ibni Al-Musayyab.  (An-Nawawi, hlm: 1257-1258)


Hikmah
Dijelaskan bahwa hikmah dari larangan ini adalah bahwa semua anggota tubuh kita sekecil apapun akan diselamatkan dari api neraka.  Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa untuk menyerupai (tasybih) larangan bagi orang yang sedang ihram untuk menyembelih dan memburu hewan apapun.  Akan kalangan tetapi syafiiyyah mengatakan bahwa pendapat terakhir ini adalah salah.  Karena alasan seperti: pada saat ihram kita dianjurkan untuk tidak memakai wewangian, namun dalam berqurban tidak demikian.  (An-Nawawi dalam Al-Minhaj Syarh Sahih Muslim bin Hajjaj, hlm: 1257)


Implikasi Hukum Fiqh dari Hadits ini
Hukum fiqih didasarkan pada adanya perintah (amar) atau larangan (nahy) di dalam suatu nash baik Al-Quran maupun Hadits.  Dari adanya redaksi perintah atau larangan tersebut lalu kami akan mengkaji lebih lanjut tentang apakah perintah tersebut menyatakan kewajiban, anjuran, atau kebolehan.  Dari redaksi larangan, kita akan dapat mengkaji lebih lanjut apakah larangan itu masuk ke dalam pernyataan haram, atau makruh.  Tentunya kesemuanya itu berdasarkan dalil petunjuk (qarinah) yang ada setelah memperbandingkan dengan nash-nash (ayat atau hadits yang lain).

Di dalam kasus teks hadits di atas sebagaimana dikutip dari Sahih Muslim di atas, terdapat larangan yang menyatakan:
.... فلا يمس من شعره وبشره شيأ 
Artinya:
.... maka jangan menyentuh (memotong) sesuatu apapun dari rambut dan kulitnya.

Apa konsekuensi hukum dari larangan memotong rambut (dan semua rambut di tubuh) ini?  Adakah ia menghendaki haram ataukah makruh?
 
Dari sini terdapat perbedaan pendapat para ulama:
  1. Imam Ahmad, Ishaq bin Rawaih, Abi Dawud, dan sebagian dari kalangan Syafi'iyyah mengatakan bahwa hal tersebut hukumnya adalah haram.  Keharamannya ini sampai selesai ia sembelihnya hewan qurban.
  2. Imam Syafi'i dan pengikutnya menyatakan bahwa hal tersebut adalah makruh (makruh tanzih) dan bukanlah haram. 
  3. Abu Hanifah berpendapat tidak makruh.
  4. Imam Malik berpendapat tidak makruh dalam suatu riwayat, dan menyatakan makruh dalam riwayat yang lain.
(An-Nawawi, hlm: 1257)

Pendapat yang menyatakan haram berdasarkan beberapa hadits.  (An-Nawawi, hlm:1257) Pendapat ini juga mengambil hukum asal dari larangan yaitu haram.  Dan dengan demikian membatalkan qiyas.  Di samping itu para ulama yang mengatakan makruh adalah dengan jalan memperbandingkan hadits Aisyah yang sifatnya umum.  Adapun hadits dalam masalah ini adalah hadits khusus yang harus didahulukan.  Al-Atsyubi di dalam Syarah Sunan Nasai mengatakan:

ومقتضى النهي التحريم وهذا يرد القياس ويبطله، وحديثهم عما وهذا خاص يجب تقديمه بتنزيل العام على ما عدا تناوله الحديث الخاص.
Artinya:
Tuntutan dari larangan itu (pada dasarnya) adalah haram.  Dan ini membatalkan qiyas.  Sedang hadits mereka (yang dinyatakan makruh) adalah hadits yang umum.  Sedang hadits (tentang larangan mencukur rambut) ini adalah hadits khusus yang harus didahulukan.  Dengan menghilangkan keumuman atas yang selain apa yang dikhususkan oleh hadits khusus.  (Al-Atsyubi (33), hlm277)

Adapun pendapat Imam Abu Hanifah yang menyatakan tidak makruh.  Hal ini menyatakan konsekuensi logisnya bahwa mengikuti anjuran hadits tersebut di atas juga tidak mustahab (sunnah).  Alasan dari hal ini adalah karena bagi Imam Abu Hanifah, kemakruhan dan keharaman sesuatu itu hanya bisa diputuskan dengan dalil khusus yang menyatakan hal itu.  (As-Sya'rani, (1):52).  Dengan demikian maka Imam Abu Hanifah menyamakan hukum yang menolak hadits di atas adalah sebagaimana perintah makan dan minum dalam ayat yang berimplikasi pada hukum mubah.

Sedangkan Imam Syafi'i yang menyatakan makruh tanzih berdasarkan hadits lain dalam Shahih Bukhari:

Apa yang harus dilakukan: ((((((Jika Anda tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan benar) عليه شيء أحل الله حتى ينحر هديه)) رواه البخارى ومسلم. 

Artinya:
Dari Aisyah ra.  Berkata: (((Saya meminta tali kekang onta Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah mengalungkan tali itu dan mengirimkannya. Serta nabi tidak mengharamkan sesuatu apapun yang dihalalkan oleh Allah hingga ontanya disembelih.)) (HR. Bukhari dan Muslim)

Berdasarkan hadits di atas, secara qiyas aulawiyyah Imam Syafi'i berpendapat bahwa mengirimkan unta itu lebih kuat daripada sekedar menginginkan berqurban (onta).  Sedang mengirimkan saja Nabi tidak mengharamkan pemotongan rambut dan sebagainya.  Ini menunjukkan bahwa hadits larangan memotong rambut dan kuku sebagaimana disebutkan di atas tidak menunjukkan keharaman. 

Oleh karena itu maka makna larangan dalam hadits di awal wacana ini dibawa kepada makna makruh tanzih.  (An-Nawawi, hlm: 1258).  Demikian pula konsekuensi logisnya bahwa tidak memotong rambut dan kuku adalah mustahab menurut Imam Syafi'i.  Karena itu tiba' terhadap nash ada dua pilihan, bisa wajib atau mustahab.  Dan pertarungan apa yang ada di dalam nash bisa juga dua kemungkinan yaitu: haram atau makruh.  Sedangkan dalam masalah hadits di atas, telah dibuktikan kemakruhan dari makna larangan tersebut.  Sehingga mengikuti larangan itu hukum sebaliknya adalah mustahab (disukai).  (As-Sya'rani, (1) hlm:52).


Kesimpulan
  1. Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa memotong rambut dan kuku ketika masuk tanggal 10 Dzulhijjah bagi yang hendak qurban, adalah boleh, tidak makruh dan tidak haram.
  2. Imam Malik dalam sebagian riwayat mengatakan makruh.  Akan tetapi dalam riwayat lain beliau mengatakan tidak makruh.
  3. Imam Syafi'i mengatakan makruh berdasarkah hadits dari Aisyah di dalam Shahih Bukhari.
  4. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan haram berdasarkah dzahir hadits larangan tersebut.


Malang, 29 Dzulqa'dah 1441 H/20 Juli 2020



R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd



Referensi
  1. An-Nawawi, Abi Zakariya Yahya bin Syaraf.  Al-Minhaj Syarhu Sahih Muslim bin Ha  jjaj  .  Muassasah Qurthubah 
  2. Al-Atsyubi, Muhammad bin Ali bin Adam bin Musa.  Dakhirah Al-Uqba fi Syarhi Sunan An-Nasai (juz:33).  Daar Al-Mi'raj ad-Dauliyah  
  3. As-Sya'rani, Abdil Wahhab.  Al-Mizan Al-Kubra (Juz:1).  Semarang: PT.  Toha Putra  
  4. Ibnu Hajjaj, Muslim.  Sahih Muslim  .  Daar At Taybah 
  5. Al-Qazwani, Al-Hafidz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid (Ibnu Majah). Sunan Ibnu Majah. Daar al-Kotob Al-Ilmiyyah 
  6. At-Thahwi, Abu Ja'far.  Syarhu Musykil Al Atsar   .  Muassasah Ar-Risalah 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama