NU Bontang

Kiai Sunaryo: Sosok yang Menginspirasi




oleh: Gus Rizal Mumazziq

Selama 3 hari keliling di beberapa majelis, masjid lantas ngisi Pelatihan Kader NU (PKNU) di Bontang, Kaltim, 10-13 November 2022, saya diantar kesana kemari oleh KH. Sunaryo, sosok yang saya rangkul ini 


Abah Naryo lahir di Banyuwangi, mondok di PP. Darussalam, Blokagung. Lantas, di awal 1990-an memutuskan hijrah ke Bontang. Di sana, pria humoris ini memulai "karier"-nya sebagai Imamuddin alias Modin. Diberi hak pakai satu rumah kecil yang ada di tengah pekuburan. Waktu itu, kondisi penerangan masih belum layak. Kalau malam hari bisa dibayangkan betapa mengerikannya hidup di tengah pemakaman umum. Berbagai cerita aneh, mistis, dan unik soal penghuni alam kubur telah saya dengar dari penuturannya, selama 3 hari kami runtang runtung kesana kemari. 


Demikian pula selama menjadi Modin, cerita-cerita aneh seperti dalam sinetron Indosiar juga dialami. Banyak banget kalau ditulis. 


Sebagai Modin, beliau menangani perawatan banyak jenazah. Dari yang wafat dalam kondisi "dimudahkan kepulangannya oleh Allah", jenazah bunuh diri, tenggelam dan kecelakaan, maupun korban mutilasi. Yang terakhir, biasanya beliau berkoordinasi dengan tim INAFIS.


Kalau pagi-petang menjadi Modin, malamnya menjadi jagal. Ya, bekerja di rumah pemotongan hewan. Abah Naryo menerapkan sistem penyembelihan syar'i, tentu saja, dengan teknik khusus merobohkan sapi. Hanya dengan seutas tali, yang dililitkan di bagian tubuh sapi, obyek penyembelihan bisa dibaringkan dengan mudah, lantas dieksekusi. Tanpa alat khusus. Hanya sekali tarik sapi sudah roboh. Saya sempat ditunjukkan teknik yang sekilas mudah tapi butuh keberanian ini. Ngeri ngeri sedaaaap. Dalam beberapa kesempatan, Abah Naryo juga diminta memberi pelatihan di Jawa. Semacam pelatihan bagi calon Juleha (Juru Sembelih Halal).


Ketika menjadi Modin ini, Abah Naryo banyak melihat keterbatasan akses transportasi untuk mengantar orang sakit. Setidaknya laporan dari beberapa komunitas pengajian yang beliau bimbing. Tak menunggu lama, pada 2014, beliau membeli mobil ambulans seken. Jenisnya Daihatsu Gran Max. Dibeli dari kocek sendiri. Dibranding dengan logo NU dan Majelis Shalawat Bontang di sisi kanan-kiri bodi mobil. Ambulans ini serbaguna. Bisa dipakai pasien, sesekali juga mengantar jenazah. Semua gratis tis tis. 


Siapa yang nyopir? Ya Abah Naryo sendiri. Sejauh apapun, beliau yang mengantar pasien atau jenazah. Bahkan pernah sendirian mengantar mayat ke tujuan yang berjarak 400 KM, dengan medan Kalimantan yang berat. Byuuuuuh. 


Kalau sedang berhalangan, beliau nyewa sopir. Hampir 10 tahun Ambulans beroperasi telah melayani ribuan pengguna jasanya. 


Soal dedikasi dan layanan kemanusiaan, sungguh saya berguru pada orang ini. Saban Jumat pagi, beliau mengkoordinir pembagian nasi bungkus. Jumlahnya minimal 350. Disebar di beberapa titik. Program terlaksana berkat sokongan beberapa majelis taklim ibu-ibu yang ada di bawah bimbingannya. Pengajian rutin ini dibina di bawah jaringan para kiai dan mubaligh yang bernaung di bawah Lembaga Dakwah NU (LDNU) Bontang.


Selesai? Belum. Abah Naryo juga ngopeni seratusan anak yatim. Diberi jatah sangu, bingkisan, hingga beasiswa. Dana disokong dari jamaah pengajian yang beliau bina. Kolaborasi kebaikan ini telah berjalan beberapa tahun terakhir.


"Apa yang mendasari Abah Naryo melakukan semua ini?" saya bertanya, dalam perjalanan seusai ditraktir makan ikan bakar yang enak, di Warung Fajar, yang berlokasi di depan Kodim Bontang


"Saya hanya ingin menjadi bagian apa yang disabdakan Kanjeng Nabi, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama." tutur ayah tiga anak ini singkat namun punya makna mendalam.


Terimakasih kepada Ustadz Mn Hidayat, Gus Jehan, Abah Haji Sunanto dan Ustadz Rusdianto, atas kebersamaanya selama di Bontang. 3 hari di sana berguru kepada orang-orang baik.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama