NU Bontang

Penerapan Fiqih Jinayah

 



FIKIH GUS DUR

Penerapan Fikih Jinayah

Oleh: Hikmat Abdurochman, M.Pd

 

A.     Pengertian Fikih Jinayah

            Fikih jinayah terdiri dari dua suku kata, yaitu fikih dan jinayah pengertian fikih secara bahasa berasal dari lafal fagiha, yafqahu fiqhan, yang berarti mengerti, paham. Pengertian fikih secara istilah yang di kemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf bahwa fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syara praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. fikih adalah himpunan hokum-hukum syara yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.[1]

Jinayah menurut bahasa adalah nama bagi hasil perbuatan seseorang yang buruk dan apa yang diusahakan. Sedangkan menurut istilah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, atau lainnya.

Fikih Jinayah adalah mengetahui berbagai ketentuan hukum tentang perbuatan-perbuatan kriminal yang dilakukan orang-orang mukallaf, sebagai hasil pemahaman atas dalil-dalil yang terinci yang mengganggu ketentraman umum serta tindakan melawan perundang-undangan.[2]

B.    Penerapan Fikih Jinayah

Fikih jinayah pada dasarnya bertujuan untuk melindungi lima hal: Agama, jiwa dan harga diri, keturunan, akal, dan harta (Maqashidus syari’ah). Fikih Jinayah sebagian sudah diatur dalam Al-Quran seperti larangan zina, menuduh zina, makar, mencuri, qisas dan lainnya yang bertujuan untuk melindungi manusia atas hak-haknya (Daf’ul mafsadah).[3]

Dalam penerapannya, hukum fikih jinayah walaupun aturannya sudah terperinci dalam Al-Quran selain hukum ta’zir, belum seluruhnya dilaksanakan dalam kehidupan umat Islam. Bahkan di Indonesia, penerapa fikih jinayah sangat sedikit dilakukan karena terdapat beberapa kendala, meliputi problem konseptual hukum jinayah, prinsip umum pembuktian, dan prosedur pidana. Selain itu, Indonesia memiliki aturan tersendiri dalam menerapkan hukum kirminal seseorang sesuai dengan undang-undang kriminal yang berlaku yang sebagian besar berbeda dengan aturan Islam. Penerapan hukum Islam di Indonesia yang menyeluruh hanya menjadi slogan yang cukup mendapat simpati masyarakat/kalangan tertentu. Kajian tentang hukum pidana secara sistematik dan strategis masih stagnan.

Penerapan hukum pidana Islam menurut pandangan Gus Dur dituangkan dalam beberapa tulisan, seperti “Islam dan Hak Asasi Manusia” dan “Hukum Pidana Islam dan Hak Asasi Manusia” yang membicarakan atau memberikan perhatian pada masalah penerapan hukum pidana Islam dan hak asasi manusia dan perubahan ketetentuan hukum yang bersifat ijtihadi sebagaimana hukum pindah agama.

C.    Problematika Fikih Jinayah

            Hukum pidana/jinayah dalam penerapannya berdampak pada hilangnya nyawa atau badan dan pembatasan-pembatasan atas hak dan kebebasan seseorang. Dengan demikian, dalam penerapannya membutuhkan terpenuhinya sejumlah prasyarat dan asas yang diharapkan tidak berdampak pada terganggunya hak-hak asasi terpidana. Terdapat beberapa prinsip penerapan hukum pidana menurut Gus Dur, yaitu sebagai berikut.

1.Pentingnya Mempertimbangkan Kemuliaan Manusia dalam Hukum Jinayah

            Ketentuan penerapan hukum pidana harus memperhatikan status manusia dalam hukum Islam.[4] Penerapannya harus tetap pada upaya mewujudkan kemaslahatan umum. Oleh karena itu, tetkala menemukan sebuah kebuntuan dalam penerapan hukum pidana, memungkinkan untuk mengambil bentuk-bentuk hukuman lain yang bertujuan menciptakan kemaslahatan umat. Gus Dur mengatakan bahwa dimana ada penegakan hukum, yang salah dihukum, maka ia telah memenuhi kewajiban syariah, yaitu hukum Islam walaupun dalam penerapannya tidak menggunakan aturan yang telah ditentukan oleh ajaran Islam.

            Hukum Jjinayah di satu sisi harus mampu memberikan efek jera terhadap pelaku kriminal, akan tetapi di sisi lain harus mampu menjaga hak asasi manusia. Sehingga literatur Islam yang ada dirumuskan sebagai respon kondisi sosial dan politik yang dihadapi. Oleh karena itu, perlu adanya kajian mendalam tentang penerapan hukum pidana Islam yang tetap menjaga hak asasi manusia sebagai respon dari masyarakat Islam yang terus berkembang dan berubah-berubah.

            Muhammad Alim menyebutkan ada lima asas hukum pidana Islam, yaitu: 1). Asas legalitas; 2). Asas tanggung jawab individu; 3). Asas tiada pidana dalam keterpaksaan; 4). Asas tiada pidana dalam pembelaan diri; dan 5). Tiada pidana tanpa kesalahan.[5] Semua asas ini perlu diperhatikan sebelum menerapkan hukum pidana yang diharapkan dalam terjalin hubungan antara hukum pidana Islam dan hak asasi manusia.

2.Merumuskan Hubungan Hak Asasi dengan Hukum Pidana Islam

            Gus Dur merumuskan beberapa aspek dalam menghubungkan antara hak asasi manusia dan hukum pidana, yaitu pertama berkaitan dengan hukum acara, meliputi pengaduan, pembuktian, dan jalannya proses pengadilan. Tuntutan haru didasarkan pada kesaksian yang cukup dan memenuhi kriteria sebagai saksi. Sementara itu, tertuduh berhak atas status tidak bersalah, sehingga ada bukti yang meyakinkan.

            Kedua, persyaratan administrasi yang menjamin terlaksananya pengadilan secara bersih, jujur, dan berdasarkan pada keadilan. Persyaratan ini dilandaskan pada tidak ada campur tangan dari pemerintah. Selain itu, jaminan akan tersedeianya hakim yang memiliki kapasitas memadai, baik dari segi keahlian maupun kepribadian.

            Ketiga, pemberian keputusan dalam perkara pidana hukum Islam didasarkan atas dua pendekatan yang saling melengkapi, yaitu menjunjung tinggi asas keadilan hukum dan pemberian kesempatan seluas-luasnya untuk memperoleh keringanan hukum. Hukuman maksimal yang menyangkut hukuman mati dan hukuman badan tidak dapat dijatuhkan selama belum didapatkan bukti-bukti kesalahan yang cukup meyakinkan. Hal tersebut sejalan dengan kaidah fikih “Al-hudud tasqutu bis syubuhat”. Hakim harus meperhatikan kondisi terpidana apakah memungkinkan untuk menerima hukuman ataukah tidak.

            Keempat, masih terbukanya kasus mengelak secara hukum, seperti kasus yang memungkinkan penggantian hukuman dengan kompensasi material kepada pihak yang dirugikan (Diyah). Di samping itu, sistem pengampunan menjadi bagian inheren dari hukum pidana Islam, yang dikenal dengan nama sistem al-ifa.[6]

            Uraian tersebut menunjukan beberpa hal penting yang menyangkut pembuktian, persyaratan, dan dimungkinkannya pergantian hukuman. Banyaknya persyaratn yang harus terpenuhi berdampak pada sulitnya pelaksanaan hukuman pidana.

D.    Contoh Kasus: Penerapan Hukum Riddah

            Kata riddah dapat dirujuk pada Al-Quran surah Al-Baqarah: 217 dan Al-Maidah: 54. Al-Baqarah: 217 secara umum menjelaskan bahwa orang yang kembali meninggalkan agamanya adalah kafir, sementara Al-Maidah: 54 mengungkapkan dengan bahasa yang hampir sama. Dua ayat tersebut tidak dengan tegas menentukan hukuman had bagi yang murtad. Ketidakjelasan keterkaitan antara riddah dan hukuman mati juga bisa dilihat dari beberapa ayat yang menjelaskan definisi riddah dengan “Al-Kufru ba’dal iman” seperti surat Al-Imran: 86 dan 90 dan An-Nahl: 106.

            Ketentuan hukuman mati bagi pelaku riddah sesuai dengan dua hadis Nabi. Pertama, hadist diriwayatkan dari Ibn Abbas yang artinya “Barang siapa mengganti agamanya, maka bunuhlah”.[7] Kedua, hadist yang artinya “Tidak halal darah seorang muslim kecuali sebab salah satu dari tiga hal, yaitu laki-laki yang kafir setelah Islamnya, berzina setelah pernikahannya, atau membunuh jiwa bukan karena jiwa”.[8]

            Sebagaimana dikemukakan Ibn Rusyd mengenai hadist tersebut, para ahli fikih sependapat bahwa pelaku murtad laki-laki dihukum mati, walaupun bagi perempuan para uama berselisih.[9] Ketentuan hukum murtad tersebut juga terdapat pada kitab-kitab fikih yang masih berlaku dan menjadi rujukan NU.

            Masalahnya adalah hukum riddah ini berbenturan dengan Deklarasi Universal HAM (DUHAM) yang menyatakan bahwa berpindah agama adalah hak. Hal ini tercantum pada pasal 18 yang berbunyi:

“Setiap orang bebas atas kebebasan pikiran, hati nurani, dan agama. Dalam hal ini termasuk kebebasan berpindah agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama dan kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadah, dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum ataupun sendiri”

 

            Pemikiran Gus Dur terkait kasus riddah dan hak berpindah agama dipaparkan dalam tulisannya yang mengatakan bahwa masalah yang dihadapi umat Islam dalam menerapkan hukuman mati bagi riddah jika diterapkan secara apa adanya dalam realitas hidup sekarang menimbulkan sejumlah masalah, terutama negara-negara Islam yang telah melakukan ratifikasi. Oleh karena itu, menurutnya terdapat tuntutan untuk melakukan kajian kembali ketentuan fikih yang secara formal sudah berabad-abad diikuti. Konsekuansi ini diambil karena tidak mungkin bagi Indonesia untuk menolak begitu saja deklarasi DUHAM tersebut.[10]

            Dilematis tersebut nyata-nyata dihadapi bangsa Indonesia yang mayoritas muslim. Menurutnya kalau ketentuan tersebut diterapkan di Indonesia, maka lebih dari dua juta jiwa orang yang berpindah agama dari Islam ke Kristen sejak tahun 1965 harus dihukum mati. Jika hal tersebut dilakukan, maka akan menimbulkan permasalahan yang tidak kecil serta sulit dipecahkan. Dengan keadaan seperti ini, Muslim Indonesia dihadapkan pada dua pilihan: 1). Menolak DUHAM atau; 2). Mengubah diktum fikih itu sendiri.

            Gus Dur mengambil pilihan kedua, yaitu melakukan kajian kembali diktum fikih. Konsekuensinya harus ditemukan mekanisme untuk mengubah ketentuan fikih yang secara formal sudah berabad-abad diikuti dengan tetap berpijak pada kebesaran Islam yang menetapkan keyakinan kepada Allah dan RasulNya serta beberapa ayat muhkamat sebagai sesuatu yang harus dipegang. Lebih jelasnya, terdapat peluang untuk melakukan kajian kembali terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat ijtihadi.

            Apa yang dikemukakan oel Gus Dur memiliki kesamaan dengan pandangan sejumlah pemikir Islam, seperti Ibrahim Moosa dan pemikir-pemikir progresif yang lain.[11] Mereka berpendapat bahwa murtad bukan berarti perlawanan terhadap agama yang harus dikenai sanksi, karena semangat Al-Quran memberikan kebebasan kepada seseorang untuk memilih keyakinan.[12] Asmawi menambahkan bahwa Nabi sendiri semasa hidupnya belum pernah melaksanakan hukuman mati bagi orang yang murtad.[13]



[1] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2004, ) h. 1

[2] Dede Rosyada, Hukum Islam Dan Pranata Sosial, (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1994), h. 85-85

[3] Johari, Fikih Gus Dur, (Jombang: Pustaka Tebuireng, 2019), h. 170.

[4] Abdurrahman Wahid, “Hukum Pidana Islam dan Hak Asasi Manusia”, dalam Islam Kosmopolitan..., hal. 366.

[5] Muhammad Alim, Asas-asas Negara Hukum Modern dalam Islam, (Yogyakarta: LKiS, 2010), hal. 341-356.

[6] Abdurrahman Wahid, “Hukum Pidana Islam dan Hak Asasi Manusia”, dalam Islam Kosmopolitan..., hal. 373.

[7] Al-Imam An-Nasa’i, Sunan An-Nasa’i, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1930), Juz VII, hal. 104.

[8] Ibid.

[9] Ibn Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtasid, (Indonesia: Dar Ihya Al-Kutub Al-Arabiyyah, t.t.), hal. 343-344.

[10] Abdurrahman Wahid, “Hukum Pidana Islam dan Hak Asasi Manusia”, dalam Islam Kosmopolitan..., hal. 122.

[11] Ibrahim Moosa, Islam Progresif: Refleksi Dilematis Tentang Hak Asasi Manusia, Modernitas, dan Hak-Hak Perempuan dalam Islam, (Jakarta: ICIP, 2004), hal. 38.

[12] Ibid, 40-42.

[13] Muhammad Said Al-Asmawi, Penerapan Syari’at Islam dalam Undang-Undang Belajar dari Pengalaman Mesir ..., hal. 140-142.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama