NU Bontang

Gus Dur: Fikih dan Hukum Islam


Oleh: Jehan Fiqhi Yudhistira, Lc., M.Sosio.

Ketua Lakpesdam NU Bontang


Gus Dur selama ini dikenal dengan ketokohannya di bidang pemikiran yang menarik untuk dikaji. Dr. Johari mengulas pemikiran beliau dari sudut pandang fikih. Hal ini menarik, mengingat Gus Dur telah dikenal luas oleh banyak kalangan sebagai salah satu yang membuka pintu bagi generasi nahdliyyin untuk mengenal literatur Barat. Gus Dur adalah seorang intelektual Muslim yang mewakili dua tradisi, kesarjaanaan Islam dan pendidikan Barat modern.


Beberapa peneliti mengelompokkan Gus Dur dalam satu kelompok bersama Nurcholish Madjid dan Djohan Efendi ke dalam tipologi pemikiran neo-modernisme, yaitu pemikiran yang mencoba untuk memadukan modernisme dan tradisionalisme. Ciri utamanya adalah pemikiran Gus Dur yang progresif dan mempunyai sifat positif terhadap modernitas, perubahan, dan pembangunan, namun tetap berpijak pada tradisi.1


Secara umum, Gus Dur percaya bahwa Islam bersifat universal, namun dalam praktiknya tidak dapat dilepaskan dari konteks budaya setempat. Syafi’i Anwar mengatakan bahwa ciri utama dari pemikiran ini mempunyai paradigma substantif-inklusif yang berbeda dengan paradigma legal-eksklusif. Paradigma subtantif-inklusif sendiri berciri: (a) Al-Quran sebagai kitab suci berisikan aspek-aspek etik dan pedoman moral untuk kehidupan, (b) misi utama nabi bukanlah mendirikan negara atau kerajaan, (c) karenanya syariah tidak dibatasi atau terikat oleh negara, dan (d) memanifestasikan substansi dan nilai-nilai Islam dalam aktivitas politik.2


Gus Dur membedakan antara syariah dan fikih. Fikih adalah aktualisasi dari syariah yang melibatkan pemikiran fuqaha (ahli fikih). Ia melakukan proses dialogis antara konsep hukum Islam yang baku dengan realitas faktual yang mejemuk, sehingga dialog tersebut berlangsung antara konsep dan fakta. Fikih yang dikembangkan olehnya disebut fikih realitas (fiqh waqi’) yang dinamis dan kontekstual, yakni fikih yang mempertimbangkan aspek realitas yang terjadi.


Selain itu, Gus Dur juga peduli terhadap kemanusiaan, sehingga corak fikih yang dikembangkan olehnya sesuai dengan misi Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin, penuh dengan nilai-nilai humanisme universal, seperti pengakuan akan kedudukan tinggi atas manusia, prinsip persamaan, kebebasan, pertanggungjawaban publik, dan musyawarah. Sehingga menurutnya, kesejahteraan rakyat tidak boleh dibenturkan dengan tauhid dan syariah.


Pandangannya terhadap fungsi transformatif Islam berimplikasi pada kajian fikih. Menurut Gus Dur, kajian fikih perlu ada perluasan, tidak hanya sebatas ibadah mahdlah, tetapi juga harus menyentuh persoalan masyarakat yang sedang mengalami ketimpangan. Hal ini akan membuat fikih sebagai etika sosial (transformasi fikih) dan sekaligus merupakan pembaruan fikih itu sendiri. Konsekuensi dari pandangan tersebut, Gus Dur menolak formalisasi, ideologisasi, dan syariatisasi Islam.3


Dinamisasi dan Pribumisasi


Gus Dur menggunakan istilah dinamisasi dan pribumisasi untuk mengganti kata pembaruan. Dinamisasi lebih fokus untuk menggerakkan konsep dalam rangka merekonstruksi beberapa kelemahan pesantren yang mengalami kegagapan dalam menghadapi modernisasi. Gus Dur mengajak untuk berpikir rasional dan inklusif, tidak menutup diri atas perkembangan zaman dengan tetap tidak tercerabut dari akar budayanya.4


Menurutnya, ada dua hal penting yang menjadi prasyarat terciptanya dinamisasi di kalangan pesantren. Pertama, perbaikan keadaan di pesantren yang memungkinkan penumbuhan nilai-nilai baru dalam kehidupan pesantren secara konstan. Kedua, rekontruksi bahan-bahan pengajaran ilmu-ilmu agama dengan tidak meninggalkan pokok-pokok ajaran keagamaan yang diwarisi selama ini.


Dua hal pokok dinamisasi menurut Gus Dur. Pertama, definisi dan proses yang ada dalam melakukan dinamisasi, berupa perubahan ke arah penyempurnaan dengan kembali menjunjung nilai positif yang telah ada, dan mengambil nilai baru yang dianggap lebih sempurna. Kedua, harus moderat dari dua titik ekstrem, yaitu menutup diri dari modernisasi dan menunjukkan sikap lahiriyah modern yang menonjol (pseudo-modernisme).5


Sedangkan pribumisasi adalah ide yang dilatarbelakangi oleh semakin menguatnya kalangan Islam fundamentalis (mengusung purifikasi) dan upaya melanjutkan gaya Wali Songo yang melahirkan gagasan baru bagi Islam Indonesia yang tidak secara harfiyah menurut Islam Arab.6


Menurut Gus Dur, pribumisasi Islam tidak boleh menjadi pembauran antara budaya dan agama, sehingga menghilangkan keasliannya. Hubungan antara adat dan nash bukan berarti adat bisa dominatif dan mengganti nash. Yang boleh dilakukan adalah mengembangkan penerapan nash sehingga mengakomodasi realitas. Maka, inti dari pribumisasi adalah akomodasi adat oleh nash dan pengembangan penerapan nash dalam kehidupan sehari-hari.7


Konsepsi Fikih Politik Gus Dur: Negara Pancasila


Pokok pemikiran Gus Dur tentang politik adalah pemisahan antara agama dan negara, tetapi tidak memisahkan antara agama dan politik. Ia meneriman konsep negara bangsa dan tidak mewajibkan (bukan tidak boleh) mendirikan negara Islam. Artinya, ia menyatakan bahwa NKRI yang berdasarkan Pancasila sebagai keputusan final. Ini berarti bahwa ia tidak setuju dengan gerakan yang menjadikan Islam sebagai ideologi.8


Gus Dur melihat bahwa penetapan Pancasila sebagai dasar negara merupakan jalan kompromi dari perdebatan panjang antara ideologi sekuler (nasionalisme, kapitalisme, sosialisme, dan komunisme) dan idologi universal (Islam ideologis). Keduanya tidak mungkin diterapkan di Indonesia, mengapa? Sekulerisme tidak bisa karena Indonesia adalah bangsa yang religius dan meyakini bahwa agama berperan dalam kehidupan bernegara. Islam ideologis juga tidak bisa karena tidak mungkin menerapkan bentuk formal negara Madinah dalam konteks Indonesia. Titik temu keduanya adalah negara bentuk republik yang berideologi Pancasila sebagai rangkuman dari ideologi-ideologi dunia.9


Gus Dur berpendapat bahwa Islam sebagai jalan hidup tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara, walaupun menyediakan pedoman-pedoman etik dan moral bagi pemimpin dan pendirian negara. Argumennya adalah (a) Islam tidak mengenal pandangan yang jelas dan pasti tentang pergantian kepemimpinan. (b) besarnya negara yang diidealkan oleh Islam juga tidak jelas ukurannya, apakah ukuran kota seperti Madinah, imperium seperti kekhilafahan Umar, mendunia, atau negara bangsa.10


Dasar-Dasar Pemikiran Fikih Siyasi Gus Dur

Gus Dur menolak negara Islam Indonesia dan menerima konsep nation state, berargumen pada pendekatan substantif inklusif realistik  dan berdasarkan argumen fikih yang kokoh.

    a. Bentuk negara termasuk sesuatu yang bersifat ijtihadi (al-maskut ‘anh)

Persoalan bentuk negara merupakan ijtihadi yang tidak dijelaskan nash, masuk ke dalam bingkai muamalah yang dapat dicari maknanya, bukan ibadah mahdlah (ta’abbudi). Model pemilihan kepala negara terkait dengan ‘illah dan tujuan tertentu (mu’allalah), karenanya mengacu pada “al-hukm yaduur ma’a al-‘illah wujudan wa ‘adaman”

    b. Al-Ghayah (al-Maqashid) dan al-Wasa’il)

Dalam fikih, konsep ini tertuang dalam kaidah “al-wasail hukmul maqashid” dan “yughtafar fil wasail ma la yughtafar fil maqashid”. Sementara itu, dalam ushul fikih berupa kaidah “al-amru bis syai’ amrun bi wasailihi, an-nahyu ‘anis syai’ nahyun ‘an wasailihi”.

    c. Kontekstualisasi Fikih

Meskipun para ulama terdahulu telah membahas konsep negara secara Islam, Gus Dur memberikan apresiasi, tetapi juga memberikan batasan: bahwa pemikiran ulama-ulama tersebut tidak seluruhnya dapat mewakili permasalahan yang dihadapi sekarang. Maka diperlukan penafsiran ulang atas hukum agama yang ada.11


Deformalisasi Fikih


Gus Dur menggunakan istilah “formalisasi” terkait dengan pendekatan, paradigma, dan legislasi hukum Islam. Wujud dari formalisasi  berarti arabisasi sosial budaya dan penafsiran tekstual atas dalil agama yang berpegang pada letterlijk dari nash dan kurang memperhatikan maksud dari ajaran itu sendiri. Formalisasi semacam ini menurut Gus Dur disebabkan oleh: kekurangpercayaan diri umat Islam ketika menghadapi kemajuan Barat yang sekuler, masuknya pemikiran Islam formalistik dari Timur Tengah, dan kecenderungan berpikir tekstual.


Gus Dur tidak setuju dengan penggunaan istilah “Islam” dan “syariat” terhadap hal-hal yang bersifat netral dan publik, seperti ekonomi Islam dan bank Syariah. Selain itu, Gus Dur  menentang masuknya Islamisasi dalam hal perundang-undangan (formalisasi hukum Islam), karena sasaran akhir dari gerakan ini adalah legislasi hukum Islam dan pendirian negara Islam. Akan tetapi, Gus Dur tetap setuju terhadap peraturan legal formal dalam hal regulasi  yang menjamin hak kaum Muslimin untuk melaksanakan ajaran agamanya.


Sebagai alternatif dari penolakan terhadap formalisasi hukum Islam, Gus Dur mempromosikan masa depan syariat sebagai sistem normatif di kalangan umat, namun bukan melalui penerapan secara paksa oleh negara. Syariah memainkan peran penting dalam membentuk norma dan nilai-nilai etik yang dapat direfleksikan dalam perundang-undangan dan kebijakan publik melalui proses demokrasi, bukan hanya karena alasan bahwa prinsip-prinsip tersebut adalah syariah. Artinya, Gus Dur menginginkan hukum Islam tumbuh dalam masyarakat dari bawah, bukan dari atas turun ke bawah.12


Kesimpulan


Beberapa pendapat Gus Dur berpihak pada rakyat kecil, keadilan, dan kesetaraan dalam masyarakat. Hal itulah yang disebut fenomena realitas sosial. Dari sudut pandang tersebut, ia mengemukakan konsepnya terkait pembaharuan hukum Islam karena terkait dengan realitas yang ada di dalam masyarakat. Hukum Islam tidak boleh lepas dari realitas yang berkembang pada masyarakat.


Maka, dinamisasi dan pribumisasi Islam menjadi anti-tesis dari produk pemikiran Barat dan masuknya purifikasi dari Timur Tengah. Jika hari ini disebut Islam Nusantara, sebenarnya konsep tesebut sama persis dengan pribumisasi Islam, yaitu: kembali mengambil isi substansi ajaran Islam dengan tidak memarjinalkan budaya lokal setempat. Tentu hal ini menjadi pengembangan warisan Wali Songo yang selalu berdialektika dengan kebutuhan dan budaya lokal masyarakat.


Dalam hal bernegara, Gus Dur mempunyai pandangan yang bersifat substantif, yaitu bagaimana ajaran pokok dalam Islam dapat diwujudkan, tidak selalu mengambil bentuk formal dan resmi. Pandangan dalam hal politiknya didasari dengan kental oleh kaidah fikih dan ushul fikih, yang mencirikan pemahamannya yang mendalam terhadap isi dan substansi ajaran agama Islam. Meskipun, ia sendiri tidak meremehkan karya-karya para ulama terdahulu yang telah mengkodifikasikan legal dan formal bentuk negara.


Sedangkan dalam konsep perundangan hukum Islam dalam ketatanegaraan, Gus Dur mengambil pandangan luwes dan fleksibel, menginginkan bahwa syariat dan hukum Islam mewujud terlebih dahulu dalam masyarakat dalam bentuk informal, diaplikasikan sehari-hari, dan menjadi rujukan etik, kemudian negara memfasilitasinya berupa perundang-undangan dalam tujuan memperlancara terlaksananya hukum Islam yang sudah dilaksanakan dalam masyarakat tersebut. Jikapun ada perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum Islam, hal itu harus melalui proses alamiah alam demokrasi.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama