NU Bontang

Pengungsi dalam Tinjauan Fatwa

 



Oleh: Jehan Fiqhi Yudhistira, Lc., M.Sosio. 

(Ketua Lakpesdam PCNU Kota Bontang)


Saat ini, ribuan orang berbondong-bondong di bandara internasional Kabul untuk mengungsi dari Afghanistan. Fenomena ini justru terjadi setelah Taliban berkuasa di sana. Dalam sebuah video, ditampilkan beberapa orang yang nekat berpegangan di luar pesawat agar bisa naik pesawat milik Amerika Serikat. Kabar terkini, ada 1.500 orang hendak memasuki bandara dengan paspor.


Di saat seperti ini, ada dua pendapat di Indonesia yang berkutat tentang berkuasanya Taliban di Afghanistan. Pertama, mendukung. Kedua, menolak. Yang ketiga tentu saja masih wait and see, menunggu apa yang terjadi sesungguhnya dengan keputusan Taliban ke depan. Meskipun Taliban sudah menyatakan beberapa hal yang membedakan mereka beberapa tahun lalu berkuasa di sana, yaitu antara tahun 1996 hingga 2001. The New Taliban 2021 berjanji akan memberikan keluasan hak kepada wanita, memaafkan rival politik mereka, mengakomodasi pendapat kelompok lain, dll. Tapi tentu saja, semua masih menunggu penerapannya.


Selain hal itu, tampaknya ada hal penting yang harus dipikirkan tentang rakyat Afghanistan, yaitu kondisi pengungsi. Mengapa setelah Taliban berkuasa, rakyat Afghanistan justru ingin keluar dari sana dengan menaiki pesawat AS? Ke manakah tujuan mereka? Apa motif mereka mengungsi? Apakah negara lain wajib menerima atau boleh menolak mereka?


Secara sederhana, ada 3 hal yang dapat ditinjau.


Pertama, dari sudut pandang negara tujuan pengungsi. Bagaimana fatwa tentang muslim mengungsi dari negaranya menuju ke negara lain, terutama negara yang mayoritas penduduknya non muslim? Hingga saat ini, pendapat para ulama tentang suaka dan migrasi masih terbatas. Ada nuansa fikih klasik yang kental dalam hal ini, terutama dalam pembahasan darul kufri dan darul Islam, juga darul harbi dan darus silmi. Adalah Syekh Abu Yusuf dari madzhab Hanafi yang tercatat pertama kali mengklasifikasikan ini. Darul Islam dan darus silmi memiliki kesamaan makna, yaitu wilayah yang di dalamnya dapat diterapkan hukum dan peribadahan Islam. Sedangkan darul kufri dan darul harbi adalah daerah yang sangat susah untuk menjalankan hukum dan peribadahan Islam.


Tentu hal ini berkaitan dengan konteks masa lalu, dimana setiap negara/wilayah kekuasaan masih terpaku pada perang dan damai, sehingga adanya intimidasi atas nama kekuasaan/politik dalam kebebasan beragama. Sedangkan saat ini, keadaan dunia cenderung aman, kesetaraan hak dan kewajiban sudah mendominasi, dan ekspresi beragama sudah mulai diakui.


Akan tetapi, pembagian darul Islam, darul kufri, darul harbi, dan darus silmi rentan untuk dibajak kaum radikalis. Mereka menggunakan pembagian itu untuk menciptakan benturan antara muslim dan non muslim. Sehingga hidup rukun berdampingan menjadi hal yang mustahil dalam pandangan mereka. Fatwa yang diambil sepotong-sepotong juga digunakan untuk menguatkan pendapat mereka.


Contoh, fatwa Syekh Said Ramadhan Al-Buthi, yang mengatakan bahwa tinggal di negara non muslim tidak boleh. Padahal, beliau hanya ingin menegaskan, jika seorang muslim hidup dan tinggal di negara yang mayoritas non muslim dan itu dapat menjauhkan mereka dari kehidupan Islami, maka tentu tinggal di negara muslim lebih baik. Akan tetapi, fatwa ini digunakan oleh ISIS untuk melarang penduduk Suriah mengungsi keluar dari negaranya ketika terjadi perang saat itu di Suriah.


Maka, seharusnya fatwa dipandang sebagai suatu pendapat seorang ahli agama yang harus disesuaikan dengan 4 hal: tempat, waktu, manusia, dan keadaan. Mengimpor fatwa adalah suatu hal yang rentan menjauhkan masyarakat dari substansi agama Islam, jika disalahgunakan. Apalagi dengan kecanggihan teknologi informasi seperti saat ini, setiap orang dapat mengakses fatwa yang tidak ditujukan untuknya, tetapi ia menggunakannya untuk memperkuat pendapat pribadinya, meskipun justru tidak cocok diterapkan di tempat ia hidup di dalamnya.


Kedua, dari sudut pandang pengungsi. Syekh Wahbah Zuhaily dalam Mausu'ah al- Fiqh al-Islami wa al-Qodloya al-Mu'ashirah (Juz 12 hal. 739) membahas beberapa kondisi seorang muslim yang terpaksa hidup di negara non muslim. Beliau memperhatikan niat seorang muslim tersebut ketika tinggal di sana. Pertama, jika terpaksa karena suatu hal (misal diasingkan atau tekanan politik) atau adanya maslahat (belajar, perdagangan) maka jika negara yang ia tinggali merupakan negara yang menjunjung kesetaraan hak dan kewajiban antara warga negara, maka itu bukanlah hal yang sulit baginya. Akan tetapi, jika negara yang ia tinggali masih menyudutkan minoritas, maka tentu ini menjadi sulit baginya. Jika ia terpaksa melanggar beberapa ketentuan agama Islam, maka itu dibolehkan karena masuk dalam keadaan darurat. Baginya keringanan atau hukum perkecualian dalam keadaan terpaksa.


Kedua, jika niat seorang muslim tinggal di negara non muslim tetapi ia tidak peduli tentang kewajiban dalam agama Islam, cuek terhadap iman, Islam dan kekufuran, halal dan haram, tetapi hanya untuk kepentingan materi semata, maka golongam ini adalah golongan tercela.


Beliau juga mengutip pendapat al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Shulthoniyah hal. 137, bahwa jika seseorang mampu  untuk menunjukkan ritual agamanya di darul kufri tanpa ada hambatan, maka negara itu pada dasarnya adalah darul Islam. Maka hidup tinggal di dalamnya lebih baik daripada migrasi. Karena akan diharapkan orang selainnya masuk Islam. Sedangkan hijrah dari daerah yang penduduknya pelaku maksiat maka tidak wajib menurut kesepakatan para ulama, karena tidak ada daerah yang kosong dari pelaku maksiat. (Cat: kaum milenial hjrah pasti kaget dengar pendapat ini)


Maka dari sini bolehnya mengungsi ke Eropa dan Amerika Serikat, dengan syarat: tujuannya bukan karena materi semata, kebolehan di negara tersebut menunjukkan kebebasan beragama, dan tetap memegang nilai-nilai agama Islam dan menerapkannya sebisa mungkin. 



Ketiga, dari sudut pandang sesama muslim dan negara-negara muslim. Putra dari Syekh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi berkata bahwa tidak boleh warga negara Suriah mengungsi ke negara non muslim ketika terjadi konflik berkepanjangan di sana. Pertama, karena pemuda Suriah harus membangun negara mereka dari puing-puing kehancuran. Kedua, lebih baik mengungsi ke negara muslim tetangga yang kaya, tapi mengapa negara-negara kaya tersebut diam saja menutup mata? Daripada bertaruh nyawa di samudera demi hidup ke Eropa, mengapa tidak mengungsi ke negara sesama muslim di sekitar Suriah yang memiliki kekayaan luar biasa, makmur, dan sejahtera penduduknya? 


Hal ini tentu sangat menohok ruang batin kita. Sesama muslim, beda perlakuan. Beda negara, seolah bukan siapa-siapa, padahal sesama muslim.


Para ulama lain juga memberikan solusi terhadap kondisi pengungsi. Misal Syekh Yusuf al-Qardlawi berfatwa tentang perawatan anak-anak yatim piatu di tempat pengungsian.


Syekh Ali Jumah berfatwa bolehnya menitipkan zakat kepada UNHCR (Organisasi PBB yang mengurusi pengungsi) selama zakat tersebut dipastikan sampai dan penerimanya masuk dalam 8 golongan penerima zakat. 


Maka, kondisi pengungsi Afghanistan mari menjadi perhatian masyarakat muslim dunia. Terlepas dari Taliban atau bukan, para pengungsi harus menjadi prioritas kebijakan internasional, bukan hanya sekadar fatwa, tetapi menerapkan fatwa tersebut untuk kebaikan sesama muslim, juga terhadap pengungsi non muslim. Jika menjaga jiwa (hidfz al-nafs) adalah maqashid syariah yang utama dibanding maqashid yang lain, maka kehidupan para pengungsi seharusnya menjadi prioritas.


Tentu ini tidak mudah. Turki membangun pagar tinggi guna mencegah pengungsi dari Afghanistan masuk ke negara mereka melalui Iran. Di saat bandara Kabul dipenuhi warga Afghanistan yang ingin naik pesawat AS untuk bisa keluar, justru ribuan warga Afghanistan ingin kembali ke negara mereka di perbatasan Pakistan. Rusia menolak setiap pengungsi Afghanistan. 


Di antara perang kepentingan yang berkecamuk di sana, mudah-mudahan nurani kita masih bersih untuk memandang segala sesuatunya, terutama kepada pengungsi dari Afghanistan.[]

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama