Oleh: Guru Bahri
Dalam sejarah panjang Nahdlatul Ulama, terdapat sebuah kisah agung yang menjadi teladan lintas generasi tentang bagaimana sebuah perjuangan besar harus dimulai: bukan dari strategi, bukan dari perhitungan duniawi, tetapi dari adab, tawadhu’, dan permohonan restu para guru. Ketika KH. Hasyim Asy’ari hendak mendirikan sebuah jam’iyah ulama yang kelak bernama Nahdlatul Ulama, beliau tidak langsung mendeklarasikan gerakan besar itu. Beliau memilih untuk terlebih dahulu memohon petunjuk dan restu kepada gurunya yang sangat dihormati, ulama agung yang memiliki kedalaman ilmu dan maqam ruhani yang tinggi: KH. Kholil Bangkalan dari Madura.
Riwayat menyebutkan bahwa KH. Hasyim Asy’ari melakukan istisyarah kepada KH. Kholil Bangkalan. Namun, sang guru tidak memberi jawaban secara lisan. Beliau memilih cara yang lebih tinggi nilainya dalam tradisi para ulama: memberi isyarat ruhani. KH. Kholil mengutus murid terdekatnya, KH. As’ad Syamsul Arifin, untuk membawa sebuah tongkat ke Pondok Tebuireng dan membacakan ayat-ayat Surah Thā-Hā ayat 17–23 di depan KH. Hasyim Asy’ari. Isyarat itu bukan pesan biasa; ia melambangkan dukungan spiritual atas kelahiran sebuah organisasi besar yang kelak menjadi rumah bagi jutaan umat.
Tak lama setelahnya, KH. Kholil kembali memberi isyarat kedua. Beliau mengutus KH. As’ad lagi untuk membawa sebuah tasbih yang dibacakan Asmaul Husna “Yā Jabbār, Yā Qahhār” sebanyak tiga kali. Tasbih itu menjadi simbol peneguhan, sebagai tanda bahwa restu sang guru telah menyertai tekad KH. Hasyim Asy’ari untuk mendirikan jam’iyah ulama. Sejak saat itu, NU lahir dengan fondasi spiritual yang sangat kokoh, tersambung kepada para masyayikh yang keikhlasannya menjadi cahaya bagi perjalanan umat hingga hari ini.
Semangat penuh adab itulah yang kini dihidupkan oleh MWC NU Bontang Utara, yang dipimpin oleh Ustadz Anwar Musyaddat, S.E. Dalam mengemban amanah dakwah, sosial, dan pelayanan kepada masyarakat, para pengurus MWC NU Bontang Utara meyakini bahwa keberkahan perjuangan tidak hanya datang dari program dan visi organisasi, tetapi juga dari restu para ulama dan dzurriyahnya—sebagaimana yang dicontohkan oleh para pendiri NU.
Dengan penuh rendah hati, MWC NU Bontang Utara menyampaikan permohonan doa restu kepada dzurriyah KH. Kholil Bangkalan, yaitu KH. Muhammad Ali Cholil, yang kini menjabat sebagai Rois Syuriah PWNU Kalimantan Timur. Lebih dari sekadar memberi doa dari kejauhan, KH. Muhammad Ali Cholil hadir secara langsung di Kota Bontang pada momen penting pelantikan Pengurus MWC NU Bontang Utara. Kehadiran beliau dipandang sebagai nikmat besar dan keberkahan yang tidak ternilai, karena beliau bukan hanya seorang ulama dan pemimpin wilayah, tetapi juga darah daging dari KH. Kholil Bangkalan—sosok yang restunya pernah menjadi awal perjalanan NU itu sendiri.
Dalam pandangan para pengurus, kehadiran KH. Muhammad Ali Cholil bukan sekadar agenda organisasi, melainkan sambungan ruhaniah kepada mata rantai para ulama pendiri NU. Doa yang beliau panjatkan diyakini membawa kekuatan batin, kemantapan langkah, serta kemudahan dalam setiap program kerja yang akan dilakukan MWC NU Bontang Utara ke depan. Hal ini sejalan dengan pesan para kiai terdahulu, “Siapa yang tersambung dengan sanad guru, akan disambung oleh Allah dalam segala urusannya.”
Pada akhirnya, perjuangan MWC NU Bontang Utara bukan hanya tentang menjalankan struktur, membuat program kerja, atau mengelola organisasi. Lebih dari itu, perjuangan ini adalah upaya menjaga amanah yang diwariskan para masyayikh: bahwa dakwah harus dilakukan dengan adab, langkah harus ditempuh dengan tawadhu’, dan setiap ikhtiar harus dimulai dengan doa restu. Dengan spirit ini, para pengurus bertekad melangkah dengan penuh keikhlasan—menjaga marwah jam’iyah, merawat tradisi ulama, dan meneruskan cahaya perjuangan yang telah diwariskan KH. Hasyim Asy’ari dan para guru beliau.
Semoga Allah melapangkan jalan perjuangan MWC NU Bontang Utara, menguatkan ikhtiar para pengurusnya, dan menjadikan khidmah mereka sebagai amal jariyah yang tidak terputus hingga hari akhir.

إرسال تعليق