Berkatalah Semau kamu dalam Mencaci Kebenaran yang Saya Sampaikan: Diam Bukan Berarti Tak Menjawab


Oleh : Guru Bahri


Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali menemukan situasi di mana kebenaran yang kita sampaikan mendapat berbagai reaksi, mulai dari dukungan hingga caci maki. Ada kalanya, ketika kebenaran itu disampaikan, muncul penghujat yang mencoba merendahkan atau menolak dengan keras. Namun, dalam menghadapi situasi seperti ini, ada sebuah filosofi yang sangat dalam dan penuh makna: “Diam dari mengomentari penghujat bukan berarti tidak menjawab, justru itu jawaban yang tepat, karena singa tidak akan berdebat dengan anjing.”


Kebebasan berpendapat adalah hak setiap individu. Ketika seseorang menyampaikan kebenaran menurut pandangannya, tentu saja ada ruang bagi orang lain untuk memberikan komentar, kritik, atau bahkan celaan. Namun, penting untuk membedakan antara kritik yang membangun dan caci maki yang hanya bertujuan menjatuhkan. Mencaci kebenaran yang disampaikan tanpa dasar yang kuat adalah bentuk ketidakdewasaan dan ketidakmampuan untuk menerima fakta.


Dalam konteks ini, “berkatalah semaumu dalam mencaci kebenaran” bisa diartikan sebagai kebebasan orang lain untuk mengeluarkan pendapatnya, meskipun itu berupa celaan. Namun, kebebasan tersebut tidak harus selalu direspons dengan perdebatan yang sia-sia.


Seringkali, dalam menghadapi penghujat atau orang yang mencaci kebenaran kita, kita merasa terdorong untuk membalas dengan argumen yang panjang dan keras. Padahal, tidak semua perdebatan layak untuk dilanjutkan. Ada kalanya, diam adalah jawaban paling tepat.


Diam bukan berarti kita lemah atau tidak punya jawaban. Sebaliknya, diam bisa menjadi bentuk kekuatan dan kebijaksanaan. Dengan memilih diam, kita menunjukkan bahwa kita tidak terjebak dalam permainan emosi dan tidak mau menurunkan diri ke level yang sama dengan penghujat. Ini adalah cara menjaga martabat dan integritas diri.


Peribahasa “singa tidak akan berdebat dengan anjing” mengandung makna yang sangat dalam. Singa, sebagai simbol kekuatan, kebijaksanaan, dan martabat, tidak akan membuang waktunya untuk berdebat dengan anjing yang dianggap tidak sepadan atau tidak layak untuk diladeni. Ini mengajarkan kita untuk memilih pertempuran yang memang layak untuk diperjuangkan.


Dalam konteks kebenaran dan penghujat, singa adalah kita yang menyampaikan kebenaran, sedangkan anjing adalah mereka yang mencaci tanpa dasar dan hanya ingin menjatuhkan. Dengan tidak meladeni penghujat, kita menunjukkan bahwa kebenaran kita berdiri di atas segala celaan dan tidak perlu dibuktikan dengan perdebatan yang tidak produktif.


Manfaat diam dalam menghadapi penghujat sangat banyak. Pertama, diam membantu menjaga emosi dan ketenangan, menghindari konflik yang bisa memicu emosi negatif. Ketenangan adalah modal penting untuk berpikir jernih dan bertindak bijak. Kedua, orang yang tidak mudah terpancing emosi dan tetap tenang saat dicaci cenderung dipandang lebih dewasa dan kredibel. Ketiga, diam menghindari perdebatan tak berujung yang hanya membuang waktu dan energi. Keempat, diam memberi ruang untuk refleksi, baik bagi diri sendiri maupun orang lain, agar dapat merenungkan apa yang sebenarnya disampaikan, bukan hanya bereaksi secara emosional.


Dalam menyampaikan kebenaran, kita harus siap menerima berbagai reaksi, termasuk caci maki. Namun, cara kita merespons penghujat sangat menentukan kualitas diri kita. Diam bukan berarti kita tidak punya jawaban, melainkan jawaban yang paling tepat dan bijak. Seperti singa yang tidak berdebat dengan anjing, kita harus memilih pertempuran yang layak dan tidak membuang energi untuk hal-hal yang tidak produktif.


Jadi, berkatalah semaumu dalam mencaci kebenaran yang saya sampaikan, karena itu adalah hakmu. Namun, ketahuilah bahwa diam saya bukan tanda kelemahan, melainkan kekuatan dan kebijaksanaan yang sesungguhnya. Kebenaran akan selalu berdiri kokoh, meskipun dihujat sekalipun.

Post a Comment

أحدث أقدم